Mahasiswa Baru, Subjek atau Objek DOKTRINASI Senior ???

Akhir semester genap semua perguruan tinggi baik negeri
ataupun swasta selalu berbondong-bondong membuka pendaftaran mahasiswa
baru. Berapa macam seleksi dilakukan sebagai syarat masuk perguruan
tinggi. Ini semua menjadi rutinitas tahunan yang dilakukan semua
perguruan tinggi tanpa kecuali. Hingga akhirnya setelah menjalani semua
proses itu, resmilah mereka menyandang predikat mahasiswa bagi yang
lolos. Namun ada hal lain pula yang menjadi rutinitas setelah perguruan
tinggi menerima mahasiswa baru dari segala macam seleksi itu. Masa
orientasi, atau seringkali disebut OSPEK yang dilakukan para senior
dalam mengenalkan dan mendidik mahasiswa baru untuk mengenali lingkungan
yang masih asing bagi mereka.
Menjadi mahasiswa bagi beberapa orang mungkin sesuatu hal
yang membanggakan. Menjadi komponen perubahan dalam setiap sejarah atau
yang sering diteriakkan oleh para aktivis mahasiswa sebagai agen of
change. Disatu sisi mahasiswa adalah komponen yang paling strategis
dalam melihat realitas, entah itu politik, budaya, ekonomi, pendidikan
dan lain sebagainya. Maka dari itu kalangan yang sering melakukan kritik
terhadap segala kebijakan berasal dari komponen mahasiswa. Selaras
dengan apa yang dikakatan Pramoedya, seorang sastrawan Indonesia bahwa
satu-satunya komponen masyarakat yang paling merdeka dan bebas adalah
mahasiswa. Dalam proses sejarah Indonesia, kejatuhan setiap rezim
terdapat komponen mahasiswa di dalamnya, terutama sekali dari masa orde
lama sampai reformasi. Namun dilain sisi, mahasiswa juga punya posisi
strategis untuk menjadi korban doktrinasi khususnya dari para senior.
Proses doktrinasi ini menjadi rutinitas dalam kegiatan orientasi
mahasiswa. Teriakan-teriakan akan perubahan dan seakan-akan mahasiswa
adalah komponen satu-satunya dalam proses perubahan itu selalu
didengungkan. Bagaimana Pram juga pernah mengatakan bahwa orang
terpelajar sudah harus merdeka sejak dalam pikiran. Namun jika kesemua
itu masih dalam ruang lingkup doktrinasi, apakah itu masih bisa disebut
merdeka?
Paulo Freire mencoba membagi kesadaran dalam diri manusia
menjadi tiga bagian. Pertama, kesadaran magis, adalah kesadaran manusia
tentang realitas semata-mata sebagai takdir Tuhan. Merubah realitas sama
halnya menentang Tuhan. Kedua, kesadaran naif, adalah kesadaran dimana
keadaaan hidupnya yang buruk adalah karena sikap manusia itu sendiri. Ia
hidup miskin lantaran Ia malas untuk bekerja. Jadi dalam kesadaraan
naif sistem adalah sesuatu yang benar, jika salah itu adalah dari
manusia itu sendiri. Ketiga, kesadaran kritis, adalah kesadaran manusia
yang mampu mengetahui dirinya dan realitas di luar dirinya. Keadaan
hidupnya yang buruk semata-mata bukan karena takdir Tuhan atau karena
ulah dirinya sendiri, melainkan ada pula sistem diluar dirinya yang
membuat realitas seperti ini.
Kembali kepada proses orientasi mahasiswa, seharusnya dalam
proses itu mahasiswa baru dididik agar menjadi manusia dengan kesadaran
kritis. Dan kesadaran kritis tidak didapat dari proses doktrinasi.
Kesadaran kritis didapat dari proses dialogis antara senior sebagai
subjek dan mahasiswa baru juga sebagai subjek bukan menjadi objek
seperti dalam proses doktrinasi. Dalam proses dialogis itu, antara
subjek dengan subjek harus melepaskan identitas-identitas yang melekat
dalam dirinya. Seperti subjek sebagai senior dan subjek sebagai junior.
Jurgen Hubermas menyebutnya dengan Demokrasi Deliberatif.
Dengan cara ini mahasiswa baru akan mendapat ruang untuk
berbicara dan mengungkapkan pendapatnya. Jika senior merasa tidak
sepakat maka di dalamnya harus ada konsensus-konsensus yang disepakati
bersama. Namun pada realitanya, mahasiswa baru hanya diletakkan sebagai
objek doktrinasi. Di jejali dengan teriakan-teriakan perubahan, dan
harus melawan sistem yang menindas. Akan tetapi mereka mahasiswa baru
tidak mengerti dan tidak mampu mengurai sistem seperti apa yang menindas
dan apa pula yang harus dilakukan untuk memperbaharuinya. Mereka hanya
menerima saja apa yang diteriakkan seniornya, dan lebih parahnya lagi
mereka menerimanya dengan tidak mencoba mengkaji kembali.
Sudah seharusnya perubahan dalam proses ini dilakukan. Agar
semboyan agen of change benar menjadi semboyan yang nyata. Karena baru
diawal proses saja mereka sudah menjadi korban doktrinasi, maka hal yang
sama juga akan mereka praktekkan ketika mereka menjadi senior. Maka
tidak heran jika wajah seperti ini menjadi sesuatu hal yang kita lihat
setiap tahun. Pendidikan yang seharusnya sebagai alat memerdekakan
manusia malah diselewengkan untuk menindas kemerdekaan manusia di dalam
institusi pendidikan dan dilakukan pula oleh orang yang sering berteriak
merdeka.
——————————Penulis: Nursetyo Iswandani
Re — Goo.gl/UBiLi3
Komentar
Posting Komentar