[OSPEK] : Ruang Demokrasi Untuk MaBa Jangan Ada "Privatisasi"
OSPEK, Kembalikan Ruang Demokrasi Kepada MaBa ???
“Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai subjektifitas doktrinasi mahasiswa baru“
Masa orientasi mahasiswa baru menjadi kegiatan rutin yang
dilakukan perguruan tinggi sebagai sarana memperkenalkan lingkungan dan
dinamika kampus kepada mahasiswa baru. Perguruan tinggi bekerja sama
dengan mahasiswa lama untuk melaksanakan kegiatan orientasi ini. Maka
selalu kita lihat di dalam masa orientasi, mahasiswa lama tampil sebagai
seorang yang bertugas memperkenalkan, mengarahkan, membimbing, dan
mendidik mahasiswa baru. Memperkenalkan bagaimana lingkungan kampus
sangatlah berbeda dengan lingkungan sekolah dulu, dinamika kampus
tidaklah sekolot sewaktu duduk dibangku sekolah. Mengenalkan bagaimana
mahasiswa mampu bersikap mandiri dan bertanggung jawab atas apa yang
menjadi pilihannya. Hingga akhirnya senior harus mampu mengarahkan,
membimbing dan mendidik juniornya agar bisa memilih apa yang menjadi
pilihannya. Disinilah letak kemerdekaan di dalam berfikir dan bertindak
sebagai seorang terpelajar seperti apa yang diungkapkan Pramoedya A. T.
Kemerdekaan dalam berfikir adalah bagaimana seseorang mampu
mengenali dirinya sebagai subjek individu yang utuh di dalam komponen
masyarakat serta mengenali realitas di luar dirinya yang seringkali kita
sebut sebagain sistem. Hingga akhirnya Ia mampu bertindak sesuai apa
yang Ia kehendaki atas hasil abstraksi dari apa yang Ia pikirkan tentang
dirinya dan realitas. Tugas seorang senior dalam hal ini hanya memberi
pisau sebagai alat dan metode untuk menganalisis dirinya sendiri dan
realitas di luar dirinya. Paulo Freire meyebutnya ini sebagai kesadaran
kritis.
Dalam realitanya, kegiatan orientasi ini dipraktekkan
secara serampangan. Praktek senioritas yang selalu menampakkan bahwa
senior adalah manusia paling sempurna dan mempunyai hak penuh atas
juniornya. Junior diletakkan sebagai objek yang bisa diperlakukan
semaunya sendiri. Maka tidak heran jika seringkali kegiatan ini
dilakukan, selalu ada praktek–praktek bullying dan tak jarang pula yang
berujung kematian. Terkadang hal ini juga dilakukan sebagai sarana dan
ajang balas dendam karena dulunya sewaktu mereka (senior) menjadi
junior, juga diperlakukan demikian. Padahal tak jarang pula yang selalu
berteriak bagaimana kita harus mampu berfikir, merdeka dan menjadi agen
perubahan. Menyalahkan bagaimana pemerintah adalah institusi dengan
sistem yang menindas. Tetapi pada kenyataannya, mereka tidak sadar
sedang menindas kemerdekaan berfikir para junironya. Mereka selalu
didoktrin suara–suara kebebasan, kemerdekaan, perubahan. Namun sekali
lagi itu hanya suara, belum menjadi sebuah kesadaran. Hal itu sama saja
memupuk kesadaran magis kepada mahasiswa baru, bagaimana seorang senior
adalah manusia yang paling benar di hadapan junior. Tidak ada kesalahan
bagi senior, jika senior salah kembali kepada peraturan awal bahwa
senior tidak bisa salah. Praktik senioritas–otoritarian ini selalu
ditampakkan disetiap kegiatan orientasi mahasiswa baru.
Mahasiswa baru mulai hari ini haruslah sadar bagaimana
praktik–praktik demikian adalah tindakan pembodohan. Perubahan di dalam
kegiatan ini harus dilakukan oleh mahasiswa baru itu sendiri. Berani
memberontak dan melawan segala bentuk kegiatan yang tidak mendidik dan
menindas. Agar praktik–praktik bullying dan senioritas–otoritarian tidak
selalu terulang kembali setiap tahunnya. Ruang–ruang demokrasi harus
diberikan kepada mahasiswa baru agar nantinya menjadi manusia yang
benar–benar merdeka, menjadi manusia dengan kesadaran kritis tidak naif
apalagi magis.
Menurut Jurgen Habermas pemberian ruang publik ini menjadi
syarat bagaimana demokrasi dapat terwujud. Menghilangkan privatisasi
ruang publik adalah mutlak dilakukan. Dalam praktik orientasi ini, ruang
publik tidak diberikan kepada para mahasiswa baru. Yang terjadi malah
adanya privatisasi ruang publik oleh para senior. Ruang publik hanya
milik senior dan dilakukan senior untuk melakukan apapun yang Ia
inginkan kepada junior. Doktrinasi, bullying, senioritas–otoritarian
adalah bentuk–bentuk privatisasi publik yang dilakukan senior dalam
kegiatan ini. Demokrasi yang seharusnya ada di dalam institusi akademik
malah disabotase demi kepentingan segelintir golongan. Lantas apa
bedanya mereka dengan para birokrat yang selalu mereka kritisi? Karena
dalam realitanya mereka juga melakukan hal yang sama, hanya dengan cara
yang berbeda. Akan tetapi privatisasi ruang publik tetaplah merenggut
nafas demokrasi.
Perubahan ini memang harus dilakukan secara radikal, karena
praktik–praktik demikian masih begitu kuat dalam budaya kita. Mahasiswa
baru haruslah berani dan secara sadar bagaimana ruang publik mereka
telah direnggut oleh seniornya. Karena dengan adanya ruang publik,
junior akan diletakkan sebagai subjek tidak lagi menjadi objek. Tidak
ada lagi relasi senior–junior jika demokrasi tercipta di dalam ruang
publik. Adanya konsensus–konsensus, dialektika dan dinamika di dalamnya
akan menumbuhkan sikap kritis dalam diri mereka. Sudah cukup bagi mereka
terenggut ruang publiknya dalam konstruks–konstruks masyarakat.
Setidaknya dalam kegiatan ini, ada sedikit ruang bagi mereka untuk
benar–benar merdeka dalam berfikir atas dirinya dan realitas di luar
dirinya. Agar bagaimana cita-cita luhur pendidikan untuk memanusiakan
manusia, mencerdaskan keidupan bangsa bisa mendapat sedikit celah.
Biarkan mereka memilih atas kehendak dan nalurinya secara sadar. Tidak
menjadi kerbau yang bisa diarahkan dan ditarik kesana–kemari sesuai
keinginan senior.
Penulis: Nursetyo Iswandani
Re — Goo.gl/j73EDp
Komentar
Posting Komentar