Beberapa Hal Penting dalam Permenkes RI No. 9 Tahun 2017 Tentang Apotek

Majalah Farmasetika – Rubrik Opini. Menteri Kesehatan
RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 9
Tahun 2017 tentang Apotek. Permenkes ini mencabut aturan sebelumnya,
yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI) No.
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik.
Butuh waktu yang lama untuk mencabut peraturan sebelumnya
Butuh waktu berpuluh tahun untuk mencabut aturan sebelumnya itu. Bila
dibandingkan dengan aturan di atasnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 51
Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, maka perlu waktu kurang lebih
8 tahun untuk mengeluarkan permenkes baru ini.
Waktu yang tidak sebentar dan tentu memerlukan kajian yang matang dan
proses yang panjang. Terlebih dengan munculnya berbagai aturan baru
yang terkait dengan apotek, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016
tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Permenkes Nomor 31 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Permenkes Nomor 889 Tahun 2011 tentang
Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Permenkes
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan
aturan-aturan terkait lainnya.
Sulitnya menyusun peraturan perundang-undangan
Penyusunan peraturan perundang-undangan tidaklah mudah. Tahapan yang
harus dilakukan meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
dan pengundangan. Tahapan-tahapan tersebut harus dilalui untuk
menghindari adanya aturan yang bersifat “abu-abu”, multitafsir,
bertentangan dengan aturan di atasnya dan tidak harmonis dengan aturan
sejenis. Untuk itu diperlukan pula uji publik pada tahapan pembahasan
sebelum peraturan disahkan.
Uji publik perlu dilakukan untuk meminta masukan dari berbagai pihak
khususnya di luar pemerintahan dalam penyempurnaan rancangan peraturan.
Dari sisi bahasa, bahasa peraturan haruslah bahasa yang mudah dimengerti
oleh masyarakat luas, tidak hanya oleh pihak-pihak yang diatur dalam
aturan tersebut. Bahasa peraturan harus mengikuti kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan
dan pengejaannya. Yang lebih penting lagi, bahasa peraturan mempunyai
ciri tersendiri berupa kejelasan pengertian, kebakuan, keserasian,
ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum, baik dalam perumusan maupun
cara penulisannya.
Tapi apapun juga dinamika dan keterlambatan yang terjadi, keluarnya
Permenkes No. 9 Tahun 2017 ini tentu harus kita syukuri bersama sebagai
upaya pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian kepada
masyarakat.
Permenkes No. 9 Tahun 2017 mendefinisikan apotek sebagai sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker. Adapun Surat Izin Apotek (SIA) adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai
izin untuk menyelenggarakan apotek.
Jika kita cermati, maka definisi apotek dan SIA ini sejalan dengan
aturan-aturan sebelumnya bahwa izin dan penyelenggaraan apotek diberikan
kepada apoteker, bukan izin sebagai sarana semata. Kerancuan definisi
tentang apotek dan SIA yang selama ini ada sudah terjawab dengan
keluarnya aturan ini.
Instansi yang mengeluarkan izin apotek
Kemudian yang terkait dengan instansi yang mengeluarkan izin apotek,
permenkes ini tidak menyebutkan instansi tertentu, namun dikeluarkan
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Dalam lampiran formulir
permohonan SIA, disebutkan permohonan ditujukan kepada Kepala Dinas
Kesehatan/Penyelenggara Perizinan Satu Pintu.
Bila merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang
Organisasi Perangkat Daerah, perizinan daerah merupakan urusan pilihan
dan melekat pada dinas daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang penanaman modal.
Pembentukan dinas khusus yang mengelola perizinan dan penanaman modal
ini dimaksudkan untuk memusatkan proses perizinan yang sangat banyak
dilingkup kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam satu
instansi.
Akan tetapi nomenklatur instansi tersebut tidak diatur secara
spesifik dalam aturan tersebut. Karena tidak diatur nomenklaturnya
secara spesifik, maka nama dinas tersebut dapat saja berupa Dinas
Penanaman Modal, Dinas Perizinan Terpadu, Dinas Perizinan Satu Pintu dan
lain-lain.
Berbeda dengan urusan kesehatan yang merupakan urusan pemerintahan
wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, maka nama instansinya
disebutkan sebagai Dinas Kesehatan. Jika kembali kepada permenkes ini,
maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus segera berkoordinasi dengan
Dinas Penanaman Modal/Perizinan Terpadu setempat.
Hal ini perlu dilakukan agar terdapat kejelasan di instansi mana
permohonan izin apotek dapat diajukan. Bila koordinasi antar instansi
ini tidak segera dilakukan, maka banyak pihak yang dapat dirugikan,
terutama apoteker sebagai pemohon izin apotek.
Catatan khusus terkait proses perizinan apotek
Yang juga harus menjadi catatan dalam permenkes ini adalah proses
perizinan tersebut harus melibatkan unsur tenaga kefarmasian dari Dinas
Kesehatan setempat, terutama tenaga apoteker. Ini penting dilakukan
dikarenakan apoteker-lah tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi
tentang pelayanan kefarmasian yang akan dilakukan oleh apoteker di
apotek.
Kompetensi ini yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lain. Akan
menjadi rancu ketika yang melakukan pemeriksaan terhadap izin apotek
dilakukan oleh tenaga kesehatan lain, terlebih lagi oleh non tenaga
kesehatan. Oleh karena itu, hasil akhir dari pemeriksaan setempat mutlak
memperhatikan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh petugas
tenaga kefarmasian yang ditugaskan.
Kewajiban apoteker membayarkan pajak penghasilan
Hal menarik lainnya yang ada dalam permenkes ini adalah kewajiban
apoteker sebagai pemohon untuk melampirkan fotokopi Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Dengan melampirkan NPWP, maka apoteker dianggap sebagai
wajib pajak pribadi.
Sebagai wajib pajak pribadi, maka apoteker memiliki kewajiban untuk
membayar Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25) yaitu pajak yang dibebankan
pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Yang
menjadi persoalan adalah apabila apotek bukan sepenuhnya milik apoteker,
namun bekerjasama dengan pemilik modal.
Sekalipun pelayanan kefarmasian sepenuhnya dilakukan oleh apoteker,
namun urusan keuangan apotek terkadang masih ditangani oleh pemilik
modal. Ini akan menjadi kendala manakala apoteker tidak mendapatkan
akses yang memadai atas urusan keuangan apotek.
Padahal yang tercatat sebagai wajib pajak adalah apotekernya, bukan
pemilik modal. Masih berkaitan dengan hal perpajakan, banyak kasus yang
ditemukan di lapangan yaitu apotek masih dibebankan oleh beberapa
pungutan pajak dari petugas Dinas/Badan Pendapatan Daerah.
Besaran pungutan pajak yang dikenakan biasanya dihitung dari omzet
bulanan yang diperoleh apotek. Terlepas dari apa dasar hukum yang
digunakan, kejadian ini mestinya menjadi pelajaran berharga tentang
pentingnya apoteker memahami kembali aturan-aturan terkait perpajakan.
Peran IAI dalam pengawasan apotek
Pada bagian akhir permenkes ini, ada peran serta Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI) dalam melakukan pengawasan. Ini menjadi tantangan
tersendiri bagi IAI dalam setiap jenjang kepengurusannya dari tingkat
pengurus pusat sampai pengurus cabang.
IAI harus semakin meningkatkan sinerginya dengan instansi-instansi
terkait khususnya Dinas Kesehatan dan Balai/Balai Besar Pengawas Obat
dan Makanan (Balai POM) setempat. Dengan sinergi yang baik tersebut,
maka apoteker dihaarpkan dapat semakin meningkatkan peran serta dalam
meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat.
Akhirnya, mari kita berharap agar Permenkes No. 9 Tahun 2017 ini
dapat mencapai tujuannya yaitu meningkatkan kualitas pelayanan
kefarmasian di apotek dan memberikan perlindungan kepada pasien dan
masyarakat dengan tetap menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian. Semoga..
Daftar Pustaka :
- Republik Indonesia, 2009 Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta : Sekretariat Negara
- Republik Indonesia, 2016 Peraturan Pemerintah tentang Organisasi Perangkat Daerah, Jakarta : Sekretariat Negara
- Republik Indonesia, 2016 Peraturan Pemerintah tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Jakarta : Sekretariat Negara
- Republik Indonesia, 2002 Keputusan Menteri Kesehatan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
- Republik Indonesia No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Jakarta : Kementerian Kesehatan
- Republik Indonesia, 2016 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Jakarta : Kementerian Kesehatan
- Republik Indonesia, 2017 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Apotek, Jakarta : Kementerian Kesehatan
*Re-post Farmasetika.com
Komentar
Posting Komentar